Sesuai dengan kesepakatan dari sejumlah klub tanah air beberapa bulan sebelumnya, LPI bertujuan menjadi kompetisi breakaway yang mendobrak tatanan penyelenggaraan kompetisi sepakbola di Indonesia yang jauh dari profesionalisme.
Seperti yang dipaparkan chairman LPI Arifin Panigoro dalam acara peluncuran Rabu (22/12) lalu, penyelenggaraan kompetisi profesional dan dikelola dengan good governance menjadi salah satu syarat kemajuan sebuah industri sepakbola.
Tidak hanya kompetisi yang fair play, LPI juga bertekad memajukan pengembangan sepakbola usia dini dan mengembangkan sports science yang mumpuni.
Untuk penyelenggaraannya, LPI menggandeng 19 klub partisipan. Empat klub di antaranya adalah anggota PSSI yang terjun di kompetisi Liga Super maupun Divisi Utama, yaitu Persebaya Surabaya, Persema Malang, Persibo Bojonegoro, dan belakangan ditambah PSM Makassar -- meski hingga tulisan ini turun belum dapat dipastikan apakah PSM akan melebur dengan Makassar City atau tidak.
Seperti yang dipaparkan chairman LPI Arifin Panigoro dalam acara peluncuran Rabu (22/12) lalu, penyelenggaraan kompetisi profesional dan dikelola dengan good governance menjadi salah satu syarat kemajuan sebuah industri sepakbola.
Tidak hanya kompetisi yang fair play, LPI juga bertekad memajukan pengembangan sepakbola usia dini dan mengembangkan sports science yang mumpuni.
Untuk penyelenggaraannya, LPI menggandeng 19 klub partisipan. Empat klub di antaranya adalah anggota PSSI yang terjun di kompetisi Liga Super maupun Divisi Utama, yaitu Persebaya Surabaya, Persema Malang, Persibo Bojonegoro, dan belakangan ditambah PSM Makassar -- meski hingga tulisan ini turun belum dapat dipastikan apakah PSM akan melebur dengan Makassar City atau tidak.
Paling revolusioner dan banyak dibicarakan adalah tekad LPI tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang hingga detik ini merupakan sumber pendapatan utama nyaris seluruh klub sepakbola nasional. Saham serta keuntungan LPI yang didapat dari penyelenggaraan kompetisi, hak siar maupun sponsorship, akan dibagikan 100 persen kepada klub peserta.
Sebagai langkah awal, LPI memberikan modal awal dengan jumlah yang variatif kepada klub peserta, mulai dari Rp10 milyar hingga Rp30 milyar.
Namun, persinggungan dengan PSSI lah yang masih menyisakan masalah besar bagi LPI. Dalam banyak kesempatan, secara terbuka PSSI tidak terkesan dengan gagasan peluncuran LPI. Pelatih dan perangkat pertandingan yang terlibat LPI dicari tahu dan disusun dalam daftar. Lisensi kepelatihan serta sertifikat wasit mereka terancam dicabut sehingga tidak bisa lagi mencari nafkah di bidang keahlian yang dikuasai.
Tidak heran jika publik meragukan aspek legalitas LPI di mata PSSI -- apalagi AFC dan FIFA. Publik bertanya-tanya, seperti apa piramida pengembangan sepakbola yang ingin dicapai pengelola LPI karena hingga saat ini kompetisi breakaway ini berada "di luar" jalur yang semestinya.
LPI sendiri menyatakan tetap mengupayakan otoritas dari PSSI. Bahkan sedianya PSSI sendiri diundang menghadiri acara peluncuran di Hotel Kempinski, meski akhirnya tidak satupun pengurus federasi yang menampakkan batang hidung.
Visi dan semangat LPI melakukan perubahan sepakbola nasional harus diacungi jempol, meski dengan ganjalan masalah legalitas tersebut.